Kamis, 13 November 2008

Runtuhnya Semangat Berjuang

Kondisi iman kita bisa naik bisa turun, itu sudah sunnatullah. Pada saat iman kita sedang turun kita upayakan untuk tetap menjaga amal ibadah kita dan kedekatan kita kepada Allah serta tetap berada di lingkungan orang-orang yang sholih agar kita tidak semakin terpuruk dalam kefuturan, runtuhnya semangat berjuang dan akhirnya berguguran di jalan dakwah. Dari hari ke hari mungkin kita semakin banyak mendengar saudara kita yang berguguran seperti itu. Ada yang dulunya aktif banget di medan dakwah tiba-tiba menyatakan undur diri dengan beberapa alasan dan alasan terkuatnya karena kecewa. Ada pula yang dah lama tidak ngaji karena alasan sibuk atau ada juga yang karena merasa kecewa. Ada pula yang setelah lulus sikap dan pemikirannya berubah drastis. Jangankan dakwah, ngaji cuma sebulan sekali atau kalo lagi luang aja. Tapi sadarkah kita jika bisa jadi kita ikut andil dalam kefuturan saudara-saudara kita itu?

Bisa jadi mereka undur diri dari jalan ini karena kecewa terhadap kita yang tidak memenuhi haknya sebagai saudara, hanya sibuk dengan amanah kita masing2. Atau kecewa kepada kita yang ‘menjauhinya’ ketika dia khilaf padahal dia tidak setegar Ka’ab bin Malik. Bukannya kita segera menolongnya ketika sedang lemah imannya justru samakin mendorong ke jurang kefuturan. Bisa jadi suatu saat mereka merindukan ingin kembali mengungsung panji-panji Islam ini tetapi apadaya dia merasa terasing karena sikap acuh tak acuh kita setelah dia pergi. Artikel berikut ini semoga bisa menyadarkan tentang sebab-sebab runtuhnya semangat berjuang dan mengantisipasinya sejak dini.
Kita harus menyadari bahwa apa yang kita lakukan dengan dakwah ini bukanlah sekedar mengisi kehidupan hari ini. Kita harus memandang bahwa setiap diri kita adalah tinta-tinta sejarah yang akan mempengaruhi kehidupan esok hari. Karenanya jika jiwa yang ada dalam raga yang lemah ini adalah juga jiwa yang lemah, maka buruklah sejarah umat esok hari. Akan tetapi jika raga ini dihuni jiwa pejuang, maka setiap masa yang datangng hanyalah saat menunggu tegaknya keadilan

Militansi seorang da’i adalah karakter pertumbuhannya yang tidak bisa mengandalkan kekuatan diri sendiri. Ia adalah karakter yang hadir dari kolaborasi proses berbagai komponen. Kondisi lingkungan, baik sarana dakwah maupun interaksi yang terjalin di dalamnya merupakan salah satu komponen penting bagi pertumbuhan karakter tersebut. Artinya kekuatan seseorang untuk bertahan dengan segudang amanah dan beban dakwahnya sedikit banyak juga dipengaruhi oleh lingkungan dakwah. Maka evaluasi kontinyu suasana kondusif tumbuh suburnya karakter militant di lingkungan dakwah harus menjadi perhatian utama.

Komponen lingkungan tersebut seringkali kurang di perhatikan. Dalam perjalanan dakwah terkadang kita tidak adil dalam memberikan penilaian terhadap kondisi keimanan ikhwah di sekitar kita. Kita begitu mudah ‘cuci tangan’ dengan menyalahkan kualitas pembinaan sebagai gugurnya sang pejuang. Padahal bisa jadi diri kita sebagai bagian dari komponen lingkungan termasuk penyebab utama permasalahan tersebut.

Di lapangan dakwah ada beberapa fakta yang menegaskan tentang peran lingkungan dalam melemahkan karakter militant sang pejuang. Dalam prosesnya tanpa disadari, kita menyumbang andil yang tidak sedikit menyuburkan ‘kesalahan’. Bebrapa diantaranya yang perlu kita waspadai adalah:

Taushiah yang Menghukum Bukan Menyadarkan

“Sudah sepekan ini Rifki terjebak dalam kelemahan. Hal tersebut mempengaruhi pola interaksinya. Ia jadi lebih mencair. Puncaknya adalah ketika sabtu sore menjelang magrib, ia berjalan berduaan dengan Marni. Tanpa disadari olehnya kejadian tersebut disaksikan beberapa ikhwan. Pada pekan selanjutnya kejadian serupa sempat terjadi beberapa kali. Rifkipun menarik diri dari aktifitas Mushollah. Sejak saat itu, nama Rifki menghilang dari peredaran”

Tanpa kita sadari pula pendekatan terhadap masalah ternyata menjadi penyebab utama ‘gugurnya’ karakter militant seorang aktifis dakwah. Tiba-tiba saja semua ikhwah merasa wajib ‘menjauhi’ Riffki. Padahal tidak seorang pun berusaha secara jelas mengklarifikasi latar permasalahan yang dialaminya. Sangsi sosial yang kita berikan terlalu berat. Lingkungan dakwah yang seharusnya saling menguatkan dan membahagiakan, menjadi lingkungan yang tidak nyaman buat Rifki. Sementara kebijakan yang dilakukan secara jama’I tidak begitu jelas juga. Setelah sanksi social berlaku, kita cenderung berharap agar waktu menyelesaikan semuanya. Salahkah Rifki jika ia justru semakin menjadi dan jauh. Walaupun sesungguhnya ia pun merasa berat dengan keterlanjuran tersebut.

Pengkondisian yang Salah


“Rifki sama sekali tidak paham, mengapa ia tiba-tiba ia ditarik dari amanah yang diembannya. Dia measa seperti diisolasi dari amanah dakwah. Dia menduga kuat penyebabnya adalah kejadian pecan lalu. Saat ia mencoba meminta penjelasan ia hanya dijawab, “Kuatkan dulu diri antum!”

Perlakuan yang diterima Rifki menyebabkannya justru menjadi semakin jauh dari proses perbaikan Harapannya untuk segera keluar dari permasalahan menjadi sirna. Ia dihadapkan pada dua lingkungan. Lingkungan lamanya dengan para aktivis dakwah yang kini dirasakan sangat ‘menyesakkan’ serta tidak memberikan peluang untuknya. Dan lingkungan baru yang dengan lapang siap menerimanya apa adanya.
Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan utama Rifki adalah penguatan. Salah satu cara menguatkannya justru memeluknya ke dalam lingkungan aktifis internal. Mengembalikan semua memori waktu mengerjakan segudang amanah dakwah. Akan tetapi kebijakan yang harus dijalani membuatnya merasa hampa. Ia terjebak dalam kekosongan aktifitas. Banyaknya waktu kosong bukan menjadi solusi, sebaliknya menjadi boomerang bagi dirinya. Akhirnya iapun mencari aktifitas dan lingkungan lain yang lebih bisa menerimanya, Hilanglah nama rifki dari lingkungan lama yang katanya membahagiakan.

Pembinaan yang Parsial


Lamanya usia pembinaan, bukan jaminan terhadap matangnya kualitas pembinaan. Banyak factor lain yang sangat berpengaruh secara kompleks. Itulah yang terjadi pada diri Rizal. Ketika SMU dialah orang pertama yang semangat mengikuti pembinaan Rohis. Hal tersebut jugalah yang menempatkannya menjadi orang nomer satu di Rohis. Akan tetapi setelah lulus SMU, Rizal tidak terlihat lagi di dalam barisan para aktifis dakwah. Gayanya juga sudah berubah. Setelah ditelusuri ternyata amanah yang banyak membuatnya merasa tidak mengapa untuk meninggalkan pertemuan pembinaannya. Akhirnya tanpa disadari ia terjebak dalam keasyikan kuliah dan pekerjaan lainnya, sementara secara maknawi ia merosot dalam kelemahan. Akhirnya keletihan menghinggapi dan ia pun sulit untuk bangkit.

Perhatian terhadap masalah pembinaan adalah perhatian yang utama. Dalam keadaan apapun sedapat mungkin pelaksanaannya tidak terganggu. Selain itu peningkatan mutu pertemuaan dengan variasi pelaksanaan yang kreaktif, serta program,-program yang tepat, menjadi semacam kebutuhan mendesak. Resiko pemahaman parsial sangat mungkin terjadi jika pertemuan tersebut terjebak ke dalam rutinitas semata. Hasilnya hanya akan melahirkan kader yang lemah dan tidak tahan banting.

Kecewa terhadap Keadaan Dakwah


“Entah kenapa Arman merasa hambar dengan amanah dakwahnya. Rencana-rencana yang dibuat seolah hanya hiasan kertas kerja. Beberapa kali pertemuan yang dirancanya gagal. Kinerja tim melemah. Sementara tim lainnya seolah bergerak sendiri-sendiri. Sudah dicoba untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Namun tidak pernah menghasilkan kebijakan yang jelas. Perlahan-lahan ia pun mulai masa bodoh dengan amanahnya. Belakangan ia malah terlibat aktif dalam aktivitas lain di luar amanah dakwahnya.

Tersumbatnya saluran komunikasi menyembabkan banyak ketidakjelasan yang disimpan di dalam hati aktivis. Perhatian terhadap permasalahan tersebut tidak bisa disepelekan. Meemperbanyak ruang keterbukaan akan melahirkan rasa kepemilikan yang kuat terhadap amanah dakwah. Karenanya itu menjadi suatu kebutuhan primer. Agenda dakwah. Jika dibiarkan perasaan kecewa tersebut akan melunturkan semangat kerja dan menepiskan karakter militant aktivis.

Silaturahim yang lemah


“Arman dulunya termasuk pengurus Rohis. Namun kekecewaan membuatnya memilih aktivitas lain. Pilihan tersebut menyebabkannya menjadi jauh dari ikhwah lainnya. Sampai akhirnya ketika berpapasan pun hanya teguran formal yang dirasakannya. Setelah sekian lama, Arman merasa rindu untuk kembali bergabung dengan anak-anak Rohis. Namun ia merasa asing dan sendirian. Hal tersebut dirasakannya ketika beberapa ikhwah yang dulu sering berkunjung ke rumahnya, kini entah kemana. ‘Apakah saya tidak berhak memuliakan agama Allah kembali, sedang nabi Adam pun pernah berbuat kesalahan, tapi Allah memaafkannya’. Akhirnya Arman benar-benar tersisihkan.”

Seandainya kita mau sedikit memaknai pemahaman ukhuwah kita, tentulah kasus tersebut tidak pernah terjadi. Hanya dengan memberikan perhatian sederhana kita mampu mengikat hati-hati kita menjadi kesatuan yang utuh. Bahkan terhaadap saudara-saudara kita yang mengalami keterlanjuran, bagi mereka bukan berarti pintu dakwah tertutup. Mereka tetap berhak untuk kembali mengusung panji-panji kemuliaan. Namun terkadang kita justru menjadi penyebab lunturnya karakter militansi mereka dan membuatnya semakin menjauh.

Perubahan Lingkungan Aktifitas

“Di kampus Andri adalah salah seorang aktifis dakwah yang cukup dikenal. Akan tetapi setelah lulus, gaya dan kelakuannya berubah drastic. Menurutnya ini tuntutan lingkungan baru, apa boleh buat. Rupanya perubahan lingkungan tidak diantisipasi olehnya. Di kampus ia menghabiskan waktunya hanya di tiga tempat, ruang kuliah, lab dan masjid. Hampir 24 jam perhatiannya tersita untuk agenda dakwah. Namun kini semuanya berubah. Jangankan dakwah, sholat jama’ah pun semakin jarang dilakukannya. Meskipun ada perasaan rindu, ia mulai merasa asing dengan kata dakwah.”

Perubahan lingkungan aktivitas pasti akan dialami oleh kita semua. Persiapan untuk menghadapi kondisi tersebut perlu dilakukan sejak dini. Kita harus memahami bahwa menguat atau melemahnya karakter militant sangat ditentukan oleh lingkungan aktivitas. Oleh karenanya jika kita mengalami perubahan lingkungan tersebut penting bagi kita untuk menjaga pengkondisian diri. Harus disadari bahwa ada lingkungan tertentu yang tidak boleh berubah dalam fase kehidupan kita. Mislanya tetap menjaga kedekatan diri dengan budaya dakwah dan lingkungan tausiyah. Ia akan hadir sebagai penguat karakter militan dimanapun kita berada.
Sebagai sang pejuang, kita dituntut mengupayakan semua faktor yang memungkinkan penguatan diri kita. Saat ini masyarakat tengah berada di persimpangan sejarah. Mereka membutuhkan contoh-contoh hidup seorang pejuang. Jika permasalahan yang menyita energi dan perhatian kita adalah karena perbuatan kita sendiri, sampai kapankah kita akan menghadirkan senyum buat mereka. Lihatlah bagaimana ternyata sebagian dari mereka masih sangat sulit membedakan kepentingan Islam dengan kepentingan lainnya. Sebagian memberikan loyalitas, sebagaimana layaknya para sahabat memandang Rasulullah. Sementara itu Fajar Islam sepertinya masih sangat lama untuk terbit di sini. Semuanya membutuhkan kekuatan, membutuhkan pengorbanan, membutuhkan keteguhan sikap, membutuhkan militansi yang sempurna akankah kita termasuk orang yang berada didalamnya?

”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendiriannya, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa takut dan sedih dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS.Fushshilat:30)

Wallahu a’lam bish showwab

Dipersembahkan untuk saudara/i ku kader dakwah TGP
Baca juga artikel lainnya di: www.igon2007.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar